Aku cucu perempuan pertama untuk
keluarga ibu dan bapakku yang kehadirannya sangat dinantikan dan menjadi
kebanggaan mereka. Sejak kecil aku penuh limpahan kasih sayang. Seluruh anggota
keluarga besar selalu menimang dan mengajakku berbicara. Katanya, aku kecil
tidak cadel. Mereka menyayangiku yang menggemaskan tapi sedikit khawatir karena
aku pernah mengalami step dua kali dalam waktu satu tahun. Ibuku tidak panik
dan tahu apa yang harus dilakukan untuk merawatku. Suntik vaksin meningitis sejak kecil, menjaga
pola hidup sehat. Walaupun aku kecil mengkhawatirkan, ibu tidak melarangku
untuk bermain dimanapun. Mungkin ibu terpengaruhi slogan iklan, berani kotor
itu baik. Aku punya banyak teman di seluruh pelosok daerah dan bergaul dengan
siapapun.
Sejak kecil ibu mendidik aku dan
adik sangat keras. Hak akan diberikan setelah tugas dan kewajiban dilakukan.
Mau beli sesuatu ya harus usaha. Gak punya uang? Yuk jualan apa yang bisa
dibuat dan dijual lalu uangnya dikumpulkan untuk membelinya. Aku belajar
mengatur uang dari ibu. Hal pertama jika punya uang adalah ditabung. Jangan lupa
sisihkan untuk sedekah selanjutnya belanja untuk kebutuhan sehari-sehari dengan
harga diskon. Untuk masalah tugas, ibu selalu bilang; “kamu tuh cewek. Kalau
bangun tidur harus sebelum shubuh. Cuci muka, sapu rumah, sholat shubuh, masak.
Kalau udah beres boleh main hape atau tidur lagi. Belajar cuci baju sendiri.
Jangan make mesin cuci biar belajar nyucinya bersih. Ngeliat pakaian bersih numpuk
langsung setrika terus belajar nata di lemari. Ada debu di meja langsung di
lap, biar gak malu kalo ada tamu.” Sebelum pekerjaan rumah selesai, aku dan
adik tidak boleh pergi main. Boleh main tapi tidak lebih dari 3 jam. Jam 9
malam belum ada di rumah, ibu dan bapak beredar mencariku tapi lebih seringnya
pagar dan pintu rumah dikunci lalu aku memanjat pohon mangga di sebelah rumah.
Aku tumbuh menjadi anak yang
memiliki jiwa sosial tinggi,ceria, percaya diri, dan mudah bergaul. Melihat
berkembanganku yang baik, keluargaku selalu mendukung apapun yang aku lakukan,
walaupun ujung-ujungnya sakit demam 3 hari karena kegiatan terlalur diporsir.
Ibu marah? tentu tidak. Kata ibu; “biarin aja. Sakit ya tinggal di obatin. Kan
biar tau sendiri kalo kecapean pasti sakit. Biar belajar, biar mikir, biar bisa
ngatur diri sendiri.” Dari kecil keluargaku menerapkan pola pengasuhan bebas
dan bertanggungjawab. Masa-masa emasku sangat mengesankan penuh dengan
kebahagiaan.
Ibu dan bapak berpisah ketika aku
kelas 3 SMP. Perang dunia ketiga akhirnya tumpah, dua keluarga besar saling
menyerang. aku sedih? Tentu saja tidak. Saat itu aku bilang: “Buk, kalau mau
pisah ya gapapa pisah aja. Toh kalian nikah kan gak minta persetujuan aku.
Itukan berarti kesepakatan dan keputusan kalian baik dan buruknya gimana. Aku
malah terganggu kalau kalian maksain bareng tapi setiap hari berantem terus.
Aku sama adik gak sedih. Kita masih bisa main, masih punya keluarga besar ibu
yang sayang sama kita.” Sejak kejadian itu, aku gak pernah tau bapak tinggal
dimana sekarang. Seluruh keluarga besarnya pun mengacuhkan aku dan adik. Aku
tidak marah. Aku masih menganggap mereka keluargaku. Kita saling membutuhkan
suatu saat nanti.
Babak baru dalam hidupku. Ibu
bertugas menjadi kepala keluarga, bekerja untuk menghidupi kita. Adikku ikut
membantu dengan caranya. Aku bertugas menjaga rumah agar tetap rapi, bersih,
dan bisa makan 3 kali sehari dengan bahan yang tersedia. Ekonomi kita krisis,
batinku bahagia hidup seperti ini. Serba cukup, saling mengerti, bahu-membahu
menguatkan dan menjaga. Aku sangat bersyukur pernah berada di posisi ini. Aku
melihat mana keluarga dan kolega yang benar menyayangiku, mana yang hanya baik
sesaat. Dari kondisi ini aku belajar untuk selalu bersyukur, tidak pantang
menyerah, membangun mental dan melatih kemampuanku berpikir lebih dewasa.
Ibu pernah bilang kalau tidak
mampu menyekolahkanku ke SMA, dan aku berkata; “kalau memang gak bisa gapapa
bu. Belajar bisa darimana aja.” Mendengar hal ini, ibu mana yang tega. Ibu
bekerja lebih giat dan kantornya memberikan beasiswa untukku.
Tiga tahun kita membangun bersama
ekonomi mulai stabil. Kulkas di rumah sudah bisa menyimpan stok ayam dan ikan.
Aku melanjutkan pendidikan ke tingkat selanjutnya. Ibu mengizinkan aku merantau
ke Bandung karena percaya mampu menjaga diri. Sedangkan adikku lebih memilih
bekerja karena dia tidak mau pusing mengerjakan tugas kuliah.
Selama merantau aku membangun
relasi yang baik dengan siapapun. Semester 3 hingga lulus kuliah, aku
membiayainya sendiri. Kalau ibu kasih uang, aku tabung. Hidup mandiri tidak
sulit apalagi menyedihkan. Aku berterimakasih menjadi anak ibu. Walaupun
didikan ibu keras, tapi aku suka. Coba kalau dulu aku di manja, mungkin aku
sekarang selalu mengandalkan orangtuaku untuk memenuhi segala kebutuhan.
Ibuku hebat. Beliau lah yang
berhasil, bukan aku. Memiliki keluarga yang bahagia menjadi faktor penting saat
masa anak-anak untuk membangun karakter baik yang diharapkan. Beranjak remaja,
ibu menjadi teman untukku. beliau tidak otoriter karena paham anak butuh teman
untuk di ajak berdiskusi. Di masa sulit, ibu mencontohkan untuk bekerja keras,
tidak mudah mengadahkan tangan, dan tidak cengeng. Ketika memasuki dewasa awal,
yang ibu pinta adalah belajar sejauh-jauhnya dan menghabiskan masa muda sebaik
mungkin. Ibu dan keluarga besarnya tidak menuntutku menikah cepat. Kata ibu,
untuk menjadi seorang ibu harus siap segalanya. Nantinya aku akan sibuk
mengurus keluarga dengan baik. bagaimana bisa kalau kurang pendidikan dan tidak
melihat perkembangan zaman?
Walaupun saat ini hubungan aku
dan ibu tidak baik-baik saja, aku selalu berdoa agar ibu sehat dan bahagia
selalu. Ini bukan salah ibu, aku yang membangkang. Aku yang memilih jalanku
sendiri. Jauh dari ibu, membuat aku untuk yakin mengambil keputusan sendiri. Sekali lagi terima kasih telah menyiapkan aku
sejauh ini. Setelah selesai, aku akan pulang dan menjadi anak manis kebanggaan
ibu.
Komentar
Posting Komentar