Laporkan Penyalahgunaan

Label

Langsung ke konten utama

Belajar menulis hari keenam: Dunia Belum Berakhir

 


Seperti yang kita tahu, dunia sedang tidak baik-baik saja sejak akhir tahun 2019. Sebuah virus beredar dengan cepat di kota Wuhan dan menjadi pandemi ke seluruh dunia hingga sekarang. Awalnya masyarakat menyangkal bahwa virus tersebut tidak dapat masuk ke Indonesia karena sinar matahari yang cukup sepanjang tahun, tapi faktanya sekarang kasus tersebut sudah mencapai 1 juta di Indonesia. Indonesia masih berjuang untuk pulih sedang negara lain sudah banyak yang baik-baik saja.

Aku tidak akan menceritakan polemik pandemi di negeri ini. Terlalu rumit takut salah ketik. Aku akan bercerita tentang kehidupanku di tengah pandemi.


Awal maret 2020 kasus pertama tercatat di Indonesia tepatnya di Depok. Pemerintah sudah mengumumkan untuk menggunakan masker, hand sanitizer dan menjaga kesehatan. Saat itu aku baru selesai sidang akhir. “ah paling juga cuma 10 orang doang abis itu selesai” batinku. Tidak lama kemudian pemerintah mengeluarkan peraturan penyekatan daerah. Aku yang merantau tidak bisa pulang ke rumah. Selama penelitian untuk sidang akhir, aku juga meneliti untuk membuat sabun organik dan hand sanitizer. Sebagai lulusan kimia, rasanya terpanggil untuk melakukan sesuatu sesuai kemampuan. Aku menelpon seluruh teman sejurusan untuk penggalangan dana membuat hand sanitizer. Hasilnya nihil. Beberapa hari kemudian 3 temanku menjawab, namun kami semua terbentur masalah dana. “kita jualan dulu aja yuk. Buat modal awal, gimana kalo pake uang masing-masing? Nanti kalau udah balik modal kita bagiin hand sanitizernya” usulku kepada teman-teman dan mereka setuju. Modal sudah terkumpul dan kami membagi tugas. Kami menjual produk tersebut melalui media sosial instagram dan whatsapp, saat itu penjualan laris manis. Setiap hari kami mampu membuat 50-100 botol, dan 20 botol disisihkan untuk dibagikan cuma-cuma kepada ojek online dan petugas kebersihan. Niat kami berdonasi justru malah mendapat untung yang besar. Suatu hari ketika kami sedang mengemas pesanan aku mendapat telepon bahwa nenekku meninggal. Seketika bisnis ini ku serahkan kepada 3 temanku.

Nenek dikuburkan di daerah Jatisrono, Wonogiri. Malam itu aku berangkat menggunakan sepeda motor. Selama perjalanan di tengah pandemi sangat sulit mencari masker apapun itu jenisnya. Padahal aku hanya membawa satu dan itu kotor karena debu jalanan. Sesampainya di Jatisrono temanku mengabarkan bahwa kita banjir pesanan sedangkan bahan baku sudah tidak ada. Seluruh toko bahan kimia kehabisan alkohol. Dengan berat hati, kami memutuskan untuk menghentikan bisnis musiman ini. Masyarakat kini dilanda panic buyying. Hmm mungkin bisnisku laku keras karena situasi ini, tapi di sisi lain aku juga merasakan dampak buruk dari hal tersebut, menggunakan kerudungku sebagai masker selama perjalan.

Kasus yang tercatat semakin banyak, PHK dimana-mana. Aku yang baru selesai kuliah tentunya berharap cepat dapat kerja, tapi situasi berkata lain. Mengisi waktu luang disaat seperti ini dengan mencari pekerjaan melalui media sosial, latihan menari dan mencoba beberapa gaya makeup. Ternyata situasi ini tidak terlalu buruk bagiku. Aku bisa berdiam diri dirumah selama mungkin dan mendalami hal yang pernah dipelajari. Bulan selanjutnya ternyata menjenuhkan. Aku rindu berkumpul dengan teman-teman di kedai kopi. Situasi tidak nampak akan membaik dan tabunganku sudah habis. Seminggu kemudian telepon seluler berbunyi dan mengabarkan aku diterima kerja menjadi seorang guru.

Pengalaman kerja formal pertamaku ditambah dalam situasi pandemi yang menyulitkan. Aku bersyukur ditengah pandemi justru memiliki pekerjaan. Saat ini bukan soal gaji yang diterima besar atau kecil, yang jelas ini menjadi aktivitas baru dan menyenangkan. Beberapa bulan menjadi guru semuanya berjalan baik-baik saja. Pekerjaan sampingan sebagai Make Up Artist (MUA), penari, dan event organizer sudah mulai berjalan lagi. Beberapa temanku sudah memulai kembali usahanya. Orderan sudah masuk untuk mereka yang menjual baju, buku, dan celana. Temanku yang lain sudah sibuk cek lokasi untuk event musik virtual. Musisi dan seniman mulai ada panggung. Pandemi ini belum berakhir, masyarakatlah yang sudah beradaptasi dengan situasi. Aku yang tadinya awam bekerja di dunia maya kini terbiasa karena tuntutan.


Akhir tahun aku sudah bisa berkumpul dengan teman-teman di kedai kopi. Pusat perbelanjaan dan tempat hiburan sudah mulai ramai dikunjungi. Kami masih tetap menggunakan masker dan membawa hand sanitizer. Setidaknya karena pandemi ini aku jadi lebih menghargai arti sebuah pertemuan. Dahulu ketika berkumpul kami semua sibuk memegang telepon seluler tapi sekarang kami menyimpannya dan menyimak pembicaraan satu dan lainnya. Rasa rindu kami terlalu besar untuk dikalahkan oleh kecurigaan apakah virus bersamamu atau tidak.

Pemerintah kembali menggencarkan himbauan untuk tidak berkerumun dan melakukan perjalanan luar kota karena sebentar lagi lebaran. Kali ini aku lebaran di rumah. Suasananya sungguh jauh berbeda dari dua tahun sebelumnya. Sholat Ied menggunakan masker dan tidak ada silaturahmi keliling. Kerinduanku akan kampung halaman terpaksa hanya dihabiskan dengan bersih-bersih. Riuh tawa harusnya terdengar di ruang tamu sekarang hanya aku yang tertawa melalui telepon seluler. Walau begitu aku bersyukur, seluruh keluarga sehat. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan mereka yang harus ditinggal keluarga atau kerabatnya saat lebaran karena virus ini. Sekali lagi aku tidak boleh egois. Setiap keluar rumah menggunakan masker, menghindari jabat tangan, dan tidak berlama-lama di luar rumah.

Setelah lebaran situasi memburuk. Kasus yang tercatat melonjak, teman-teman disekelilingku terpapar virus. Selain karena sebagian masyarakat nekat mudik (termasuk aku yang mudik karena takut di coret dari KK), Indonesia memasuki musim pancaroba. Batuk sedikit, curiga. Demam sekali, langsung ke rumah sakit. Tenaga kesehatan mulai kewalahan, masyarakat panik.

Sejak pertama pandemi ini memang sudah meresahkan. Pada awalnya aku ikut panik tapi setelah dipikir-pikir untuk apa? Panik hanya membuat imun tubuh ikut lemah. Selagi istirahat cukup, makan sayur, dan bahagia yang paling penting harusnya aku bisa terus beradaptasi menjalani kehidupan. Menurutku kepanikan hanya membuat kekacauan. Padahal pemerintah dan media sudah menginformasikan cara agar tetap sehat. Aku tidak takut terhadap virus tersebut, hanya waspada. Lambat laun kalau situasi tidak berubah kita semua akan terpapar. Masalah meninggal atau tidak, itu masih urusan Tuhan. Semoga ketika aku terpapar nanti aku tidak merepotkan tenaga kesehatan.


Banyak sekali dampak positif maupun negatif dari situasi ini. Positifnya, mereka yang memiliki usaha kesehatan dan farmasi omzetnya melonjak drastis. Karyawan bisa bekerja dari rumah sembari mengurus keluarga. Negatifnya tentu banyak sekali. Untuk pekerja kasar, penghasilan mereka otomatis berkurang. Sebagian usaha banyak yang tutup dan paling parah virus ini menciptakan jurang antara manusia. Seperti contohnya manusia enggan untuk bertemu atau bahkan percaya dengan yang lainnya karena takut terpapar. Kita semua dipaksa untuk tidak bersosialisasi di dunia nyata demi mencegah penyebarannya meluas. Temanku pernah hampir putus ketika datang kerumah pacarnya dan dipaksa mandi oleh orangtuanya. Ternyata dampak virus ini sampai juga ke hubungan asmara.

Hari ini masyarakat hidup dalam kecurigaan, ketakutan, dan kepanikan. Energi negatif yang semestinya tidak ada. Pandemi boleh hadir tapi kita masih punya kekuatan untuk saling gotong royong membantu sesama agar segera pulih. Kepanikan bisa diganti dengan kepedulian kepada lingkungan sekitar. Ketakutan bisa diganti dengan berserah diri setelah mengupayakan segala hal baik. kecurigaan harusnya diganti dengan harapan agar kehidupan segera membaik. masih ada cinta dan kebahagiaan yang bisa ditebar untuk saling menguatkan.

Sekarang kostku di pinggir jalan dan mendengar sirine mobil ambulan 7 kali dalam 2 jam. Setiap akhir pekan aku mengungsi ke rumah teman untuk menyegarkan pendengaran. Pekerjaanku masih tetap menjadi guru. Yang bisa dilakukan adalah membantu anak-anak di sekitar kost untuk belajar secara langsung  denganku. Selain itu aku membagikan hal yang menyenangkan di sosial media agar yang lain tidak kenyang memakan berita menyeramkan ini. Pandemi ini terus mengganas tapi dunia belum berakhir. Masih banyak bayi baru lahir meneruskan kehidupan walaupun banyak pula yang meninggal. Yang masih hidup, harus tetap semangat berjuang dan beradaptasi dengan situasi ini. Pilihannya, kita atau virus tersebut yang punah. 


 


 




hi! aku Ocin Atrian. hari ini pekerjaanku adalah seorang guru, penari, dan penata make up. Beberapa postingan mengenai "Kimia" adalah murni milikku. hmmm, btw aku sarjana kimia gais heuheu

Komentar

Posting Komentar