“Akhirnya aku tiba pada puncak sepi
Aku kalap dengan rinduku
Aku tersesat merindukanmu
Tak ada penawar bagi ganasnya
rindu, kecuali pertemuan
Rindu yang selalu ku kemas rapi,
ternyata harus ku biarkan berterbangan dalam ingatan, dalam kenangan, dan dalam
jalan hidup yang berliku tajam
Setelah perenungan panjang tentang
kebimbangan, aku tak menemukan jalan lain selain kembali kepada diri sendiri
Aku harus mengambil ruh ku, dalam
tubuhmu
Mengambil cinta yang telah ku
degupkan di jantungmu
Kini aku pamit, untuk kembali
pulang kepada diriku sendiri
Kesepian sudah sangat meranggas
dalam hatiku
Awalnya telah kulepaskan diriku
yang utuh, dan tentu menjadi bayang-bayang dalam hidupmu
Berusaha menjagamu dengan doa-doa, menghadirkan tubuhku dihadapanmu, dan membuat
kita terlena dalam kecupan, dalam pelukan, dalam desahan setiap kita saling
berhembus nafas
Mungkin itu nafas cinta
Di kemudian hari kita hanya mampu
membangkitkan megahnya kenangan
Tentang pagi yang gigil hingga
malas mandi, juga tentang malam yang dihangatkan pelukan
Aku tak tahu. Apakah aku sendiri
yang merasa bodoh, yang terjebak pada kenangan itu atau kau juga sama.
Sekalipun tak kau perlihatkan pada lugu parasmu. “
Barangkali pertemuan yang diharapkan
tidak pernah ada. Hangat pelukmu kian memudar. Malam panjang terngiang sunyi
yang melengking. Dalam hari-hari yang cerah, aku hening ditengah bising. Impian
runtuh bertebaran menjelma buih-buih harapan. Kita kembali menyusuri jalan
asing, sendirian.
Katamu, ada cara yang arif untuk
mengutarakan rindu. Mendoakan di setiap helaan nafas, mengikhlaskan disetiap
langkah.
Komentar
Posting Komentar