Hari ini tulisan tentangmu akan selesai seperti kisah kita
yang telah berakhir dengan cara seperti ini. Beberapa bulan ke belakang, kita
telah mempersiapkan untuk mengakhiri hubungan kita untuk menikah. Rencana demi
rencana telah kita susun lengkap dengan kasih sayang, cinta, amarah, dan
beberapa keegoisan kita. Menentukan pilihan untuk menetap bukanlah hal yang
mudah untukku yang gemar berkelana. Namun denganmu, aku mampu bersembunyi dari
hiruk pikuk dunia. Denganmu aku mampu merasakan tetesan embun. Denganmu, aku
mampu berhenti dari perjalanan panjang yang melelahkan ini.
Hari demi hari kebahagiaan bersemi di antara kita. Cinta dan
kasih sayang kita sampaikan dan diterima dengan cara kita masing-masing.
Pintu-pintu kita ketuk untuk merestui hubungan ini. Beberapa dari mereka
mendoakan dan menawarkan apa yang bisa dibantu, beberapa yang lain justru
mempertanyakan apakah ini benar pilihan yang tepat? Dalam hari-hari ini, kita
saling berbagi cerita, keluarga, dan kesibukan.
Bulan terus beranjak dan kita saling menguatkan. Bahumu
tidak pernah lelah untuk menjadi sandaranku. Humorku begitu renyah untuk
menguraikan gelisahmu. Sejauh ini, perbedaan pendapat dan keinginan masih mampu
diselesaikan dengan sabar, dibicarakan, dan berakhir dengan peluk yang hangat.
Aku selalu menantikan wajahmu yang cemberut memohon peluk. Menggemaskan. Kita
juga suka mengelilingi Bandung ketika suntuk. Kamu sangat andal untuk meramu
segala sesuatu. Sikapku yang selalu menyebalkan dan membingungkan, diramu
dengan cinta dan kasih sayang darimu dan jadilah hari-hari yang dirindukan.
Kamu mampu meramu puisi menjadi lagu dan aku menyukainya. Tapi tolong, jangan
kamu yang nyanyi, ya! hehe. Karena aku lebih suka jika nanti karyamu tersebar
luas, kita menikmatinya di beranda kost, berdua dan secangkir kopi mungkin.
Setiap hari, kamu berhasil membuatku tak sabar dan terkagum karena kamu meramu
bumbu dapur, sayur, dan lauk pauk menjadi masakan yang paling enak rasanya.
Pada bulan-bulan ini, tidak ingin sedetikpun aku jauh darimu.
Tahun berganti tahun namun tanggal tak kunjung timbul. Aku
duduk diam dan mulai bosan menanti tujuan. Kamu yang selalu sabar mulai gusar
dituntut pertanyaan. Di tahun ini, kita mengalami pertikaian tanpa henti.
Pernah sekali, matamu yang biasanya memancarkan cinta berubah menjadi mata
serigala yang menakutkan. Melihatku seperti buruan untuk segera dimakan. Di
tahun ini, aku yang biasanya selalu menuruti nasihat dan hal baik yang kamu
contohkan berubah menjadi pembangkang yang hebat. Di tahun ini, hari-hari kita
penuh awan hitam dan gemuruh guntur. Sesekali pelangi datang dan matahari
menyambut. Seringnya hujan badai. Ini baru awal tahun namun kita telah lelah.
Kepercayaan yang sering aku rusak menjadi celah untuk curiga hadir. Kamu diam
untuk menutupi sebab ternyata membuat aku berulah mencari akibat. Hening hadir
sesaat dan di pertengahan tahun ini, akhirnya sampailah kita di tepi tujuan.
Kabar bahagia akan segera disebarluaskan namun di dahului oleh kabar duka yang
memendam luka. Ini salahku. Tidak, tapi ini salahku, katamu. Ini salah kita
berdua. Tujuan kita berakhir di atas jurang. Kita terlelap dalam duka hingga
jatuh ke dalam lembah perpisahan. Kita hampir sampai. Pada akhirnya kita sampai
ke dalam sunyi yang melengking.
Usaha kita untuk memanjat tidak pernah sampai karena tubuh
yang lelah terselimuti duka mendalam dan banyak sekali lubang yang harus kita
tambal. Kita menyerah. Aku merelakan diriku jatuh kembali dan membiarkan
tergeletak untuk beberapa saat.
Saat ini, aku harus kembali berjalan dan menemukan jalan
pulang sebagai tujuan utamaku. Lukaku belum pulih dan tubuhku masih harus
beristirahat. Namun aku sendirian di lembah ini penuh ketakutan. Aku berusaha
lari sejauh mungkin tapi aku terjatuh kembali. Aku berusaha untuk pulih namun
dihantui kalut yang datang entah darimana. Aku terus berlari mengabaikan
semuanya dan berharap segera sampai.
Pada saat seperti ini, aku menatap langit namun yang ada
hanya senyummu. Aku terus berlari yang ada hanya semua kenangan bersamamu. Aku
berusaha memejamkan mata justru amarahmu yang nampak. Aku kedinginan. Hangat
pelukmu terus memudar.
Pernah sekali aku berhenti berlari. Seseorang dari kejauhan
datang memanggil dan ingin mendengar beberapa ceritaku. Aku ceritakan bahwa aku
harus segera pulang. Masih banyak hal yang harus aku perbaiki. Namun ia memaksa
untuk tinggal dan bercerita. Untuk beberapa waktu, hal ini jadi menyenangkan
dan mengobati lukaku. Di waktu lain, aku merintih lelah dan ingin segera tidur
di rumah. Aku hanya bercerita beberapa hal yang mudah dan dangkal. Tentangmu,
semuanya sangat dalam dan menghangatkan. Sekarang pun aku tidak mampu
menguraikannya satu persatu karena aku menyimpan segalanya, di segala mu.
Terlalu banyak hal yang sangat indah yang kita lalui. Merelakanmu pergi untuk
melanjutkan jalanmu sendiri sama seperti memadamkan api abadi. Lambat laun
dingin akan hadir dan mematikanku dalam bekunya.
Aku tidak memungkiri, mungkin nanti akan ada api yang
kembali menghidupkan. Entah cepat atau lambat aku berusaha untuk menerimanya.
Detik ini aku masih ingin berbaring sepanjang waktu untuk menarik nafas yang
panjang. Melewati setiap detik dengan diriku sendiri. Membiarkan badai di kepalaku
berhenti dengan sendirinya. Mungkin lusa aku akan merapihkan puing harapan yang
pernah kita bangun sangat tinggi dan kokoh. Menata ulang ruang hati agar indah
ketika tamu hadir.
A, terima kasih hadirmu memberi banyak arti untukku.
Menemaniku menyelesaikan kuliah, menyeka air mataku di saat aku menangis. Kamu
berusaha sekokoh karang untuk menguatkanku. Menjadi laut yang sangat tenang
ketika aku berteriak di tepi pantai.
Sekarang aku belajar hal baru setelah kehilanganmu. Aku
tidak bisa menitipkan masalah, harapan, dan tujuanku kepada siapapun selain
diriku sendiri. Kakiku harus kembali kuat melangkah. Pundakku harus kokoh
menahan beban. Kepalaku harus tetap tegak menjaga wibawa. Selama ini, aku
selalu berlindung kepadamu, kini segalanya harus ku lewati sendiri.
Tugasmu selesai, A. aku bertanggungjawab untuk diriku
sendiri.
Komentar
Posting Komentar